Hasil Kebudayaan Bangsa Dravida
Peradaban Lembah Indus menurut para arkeolog berlangsung di Lembah Sungai Indus sejak 3.000 – 5.000 SM. Zaman ini disebut juga zaman Chalcolithicum. Banyak penemuan – penemuan mulai terkuak pada masa penjajahan Inggris terutama pada kepemimpinan Sir John Marshall yang pernah melakukan penggalian kota yang terpendam di Sungai Indus yaitu Harappa, Mohenjodaro dan Chanhudaro. Penggalian ini dilakukan mulai tahun 1925 di bekas kota Mohenjodaro. Dari penggalian ini kemudian ditemukan diantaranya :
Dari penggalian di Harappa (daerah Punjab, sekitar 600 km ke utara dari kota Mohenjodaro) ditemukan :
Dari penemuan – penemuan diatas dapat disimpulkan :
Di wilayah Mohenjodaro tidak ditemukan adanya tempat penguburan jenazah seolah menunjukkan adanya kebiasaan membakar jenazah. Namun di Harappa ada kalanya tulang belulang yang tidak dibakar disimpan dalam tempayan. Bukti tersebut menunjukkan bahwa di Harappa memiliki kebiasaan mengubur jenzah tetap ada.
Baca Juga : Sejarah Peradaban Mesir Kuno
Ciri – Ciri Fisik Bangsa Arya dan Dravida
Runtuhnya Peradaban Bangsa Dravida
Peradaban Sungai Indus mengalami masa – masa kemunduran pada milenium kedua Sebelum Masehi dan nyaris lenyap pada 1500 SM ketika kedatangan bangsa Arya yang menyerbu daerah barat laut India. Beberapa teori menyatakan bahwa jatuhnya peradaban Sungai Indus diakibatkan oleh kekeringan yang dahsyat yang dialami oleh bangsa Dravida. Dimungkinkan hal tersebut berasal dari letusan gunung berapi karena letaknya berada di dekat kaki gunung. Faktor wabah penyakit juga dikaitkan dengan kemusnahan peradaban Dravida pada saat itu. Namun dugaan paling kuat adalah Bangsa Arya yang memporak – porandakan kebudayaan Bangsa Dravida.
Hal ini sesuai dengan Kitab Weda yang menyatakan bahwa bangsa yang dikalahkan adalah bangsa Dahsyu yang tak berhidung. Dugaan tersebut didasarkan pada anggapan bahwa mereka tidak suka berperang yang terlihat dari kurangnya teknologi persenjataan mereka dengan kualitas ujung tombak maupun pedang mereka. Bukti lain yaitu adanya tulang belulang yang berserakan di ruangan besar menuju pemandian dimana tulang belulang wanita dan anak – anak tersebut berbentuk fisik seperti menggeliat yang mengindikasikan adanya serangan apalagi dilihat dari bentuk leher yang terbawa ke bagian kepala ketika kepala itu terlepas dari tubuh. Diduga sekitar tahun 500 SM kota peradaban Dravida runtuh.
Runtuhnya kebudayaan lembah Sungai Indus dapat dibedakan menjadi beberapa teori, diantaranya :
Sejak 1500 SM, peradaban Mohenjodaro-Harappa runtuh, selanjutnya tidak lama berselang Bangsa Arya masuk ke India lewat Iran. Saat itulah dimulai masa baru dalam perkembangan kebudayaan bangsa Arya. Pada perkembangannya terjadi percampuran kebudayaan antara Arya dan Dravida yang membentuk kebudayaan India yang kita ketahui sekarang ini.
Kembali ke : Halaman Utama
Kita sudah belajar mengenai Sejarah Kedatangan Bangsa-bangsa Eropa di Indonesia. Selanjutnya kita akan mempelajari sejarah penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa di Nusantara.
Penjajahan bangsa Eropa dapat dibagi dalam beberapa masa sebagai berikut :
1. Masa Kekuasaan VOC (1602 – 1799) 2. Masa Hindia Belanda di bawah Pemerintahan Belanda-Prancis (1800 – 1811), walaupun sebenarnya Prancis baru memerintah pada tahun 1806. 3. Masa Pendudukan Kerajaan Inggris (1811 – 1816) 4. Masa Hindia Belanda di bawah Pemerintahan Kerajaan Belanda (1816 – 1924)
Baca juga : Faktor-faktor Penyebab Kedatangan Bangsa Eropa di Indonesia
Masa Hindia Belanda Langsung di Bawah Pemerintahan Kerajaan Belanda (1816-1942)
Setelah Inggris hengkang dari beberapa wilayah di Indonesia pada tahun 1816, pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia kembali dijalankan oleh pemerintahan yang disebut Pemerintahan Hindia Belanda (Nederlandsch–Indische) yang berada di bawah pemerintahan Kerajaan Belanda. Hal ini terjadi karena Belanda sudah merdeka dari Prancis pada tahun 1815.
Hindia Belanda diperintah oleh Ratu atau Raja Belanda dengan seorang Gubernur Jendral sebagai perwakilannya yang memiliki kekuasaan penuh untuk menjalankan pemerintahan di tanah jajahannya. Hindia Belanda secara hukum dianggap merupakan wilayah Kerajaan Belanda sesuai dalam Undang-undang Kerajaan Belanda tahun 1814.
Pemerintahan Komisaris Jenderal Pada awalnya, pemerintahan ini dijalankan tiga orang komisaris jenderal, yaitu Flout, Buyskess, dan van der Capellen. Pemerintahan bersama itu bertugas melakukan normalisasi keadaan d Indonesia untuk menjaga peralihan kekuasan lama dari Inggris pada Belanda berjalan lancar. Setelah masa peralihan selam tiga tahun (1816-1819) itu berakhir. Kepala pemerintahan Hindia Belanda setelah itu mulai dipegang oleh seorang Gubernur Jendral. Gubernur Jenderal pertama yang memerintah Hindia Belanda antara tahun 1816-1814 adalah Van der Capellen.
Dalam menjalankan pemerintahannya, komisaris jenderal melakukan langkah-langkah sebagai berikut.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal van der Capellen ada usaha untuk melindungi hak-hak penduduk nusantara, namun ada juga tekanan dari para pengusaha-pengusaha swasta Belanda supaya mendapatkan kebebasan menerapkan usaha. Hal ini mengancam kehidupan penduduk nusantara.
Sementara itu, kondisi ekonomi di negeri Belanda semakin memburuk akibat perang di Eropa. Oleh karena itu, gubernur selanjutnya, Van den Bosch melaksanakan cultuurstelsel (tanam paksa), untuk memberikan keuntungan yang besar bagi Belanda.
Penerapan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) 1830-1870
Istilah cultuurstelsel sebenarnya adalah kewajiban rakyat (Jawa) untuk menanam tanaman ekspor yang laku dijual di Eropa. Rakyat pribumi menerjemahkan cultuur stelsel dengan sebutan tanam paksa. Hal itu disebabkan pelaksanaan proyek penanaman dilakukan dengan cara-cara paksa. Pelanggarnya dapat dikenakan hukuman fisik yang amat berat. Jenis-jenis tanaman yang wajib ditanam, yaitu tebu, nila, teh, tembakau, kayu manis, kapas, merica (lada), dan kopi.
Menurut van den Bosch, cultuur stelsel didasarkan atas hukum adat yang menyatakan bahwa barang siapa berkuasa di suatu daerah, ia memiliki tanah dan penduduknya. Karena raja-raja di Indonesia sudah takluk kepada Belanda, pemerintah Belanda menganggap dirinya sebagai pengganti raja-raja tersebut. Oleh karena itu, penduduk harus menyerahkan sebagian hasil tanahnya kepada pemerintah Belanda.
Ketentuan-ketentuan pokok sistem tanam paksa sebagai berikut :
Ketentuan-ketentuan tersebut dalam praktiknya banyak menyimpang sehingga rakyat banyak dirugikan. Penyimpangan-penyimpangan tersebut, antara lain berikut ini.
Pelaksanaan system tanam paksa memberikan dampak bagi rakyat Indonesia, baik positif maupun negatif, yaitu : a). Dampak Positif
Kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia ini berlangsung sejak tahun 1816 hingga tahun 1942 setelah Jepang yang mengobarkan Perang Asia Pasifik memaksa Gubernur Jendral Belanda, Van Starkenborgh Stachouw menandatangani Perjanjian Kalijati pada 8 Maret 1942 yang berisi penyerahan tanpa syarat pihak Hindia Belanda kepada Jepang.
Baca juga : Sejarah Pendudukan Jepang di Indonesia
Masa Kekuasaan VOC (1602-1799)
Banyak pedagang dari beberapa negara Eropa bersaing untuk menguasai perdagangan di Nusantara, termasuk Belanda. Persaingan juga terjadi di antar perusahaan dagang orang-orang Belanda. Hal itulah yang menjadi perhatian pemerintah dan parlemen Belanda, sebab persaingan itu tentu juga akan merugikan pemerintahan Belanda sendiri.
Guna menyaingi Inggris yang membentuk EIC (East India Company), pada tanggal 20 Maret 1602, Belanda membentuk kongsi (persatuan) dagang VOC. Persekutuan dagang VOC tersebut merupakan hasil penyatuan atau merger dari beberapa serikat dagang yang ada di Belanda. Serikat dagang VOC ini merupakan singkatan dari Verenigde Oost-Indische Compagnie. Dalam bahasa Indonesia VOC disebut Persekutuan Dagang Hindia-Timur. VOC pertama kali berpusat di Ambon.
Tujuan dibentuknya VOC ini antara lain untuk:
Beberapa catatan penting selama kekuasaan VOC.
VOC merupakan organisasi yang mengurusi masalah perdagangan Belanda di Hindia Timur (Indonesia). Meskipun demikian, VOC bertindak seperti sebuah negara. Dalam menjalankan tugasnya VOC mendapat wewenang istimewa dari pemerintah Belanda berupa hak oktroi. Hak-hak istimewa yang tercantum dalam Oktrooi (piagam/charter) tanggal 20 Maret 1602 meliputi:
Keberhasilan VOC berhasil mengusir Portugis di Maluku pada tahun 1605 mendorong VOC untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Maluku. Dalam mencapai tujuan tersebut VOC menetapkan kebijakan sebagai berikut.
Karena kekuasaanya yang semakin besar, kerajaan Belanda mengangkat seorang gubernur jendral untuk memimpin VOC. Gubernur jendral yang pernah menjabat VOC adalah Pieter Both (1610-1614) dan Jan Pieterzoon Coen (1619-1623).
Pada awalnya rakyat dan penguasa daerah bersikap baik kepada VOC. Sikap baik rakyat dan para penguasa itulah yang dimanfaatkan oleh VOC untuk semakin berkuasa di Nusantara. Namun, serjalannya waktu orang-orang Belanda mulai menampakkan sikap congkak, dan sombong. Hal itulah yang memunculkan kebencian rakyat dan para penguasa lokal.
Pada masa Gubernur Jenderal Laurens Reael, Jayakarta berhasil direbut oleh pasukan Kesultanan Banten yang dibantu tentara Inggris di bawah Laksamana Thomas Dale. VOC terusir dari Jayakarta pada tahun 1618 dan kemudian berpindah ke Maluku. Jayakarta kembali dapat dikendalikan oleh Kesultanan Banten.
Laurens Reael kemudian digantikan oleh Jan Pieterzoon Coen pada tahun 1619. J.P. Coen kembali menyerang kembali Jayakarta. Jayakarta dapat diduduki VOC. Kemudian, Kota Jayakarta hancurkan oleh J.P. Coen pada tanggal 30 Mei 1619. Kota Jayakarta kemudian itu diberi nama Batavia.
Pada masanya, J.P. Coen juga dikenal sebagai gubernur yang sangat memaksakan berlakunya monopoli. J.P. Coen tiba di Batavia dan diangkat kembali sebagai Gubernur Jenderal untuk jabatan yang kedua kalinya pada tahun 1627. Serangan tentara Mataram di bawah Sultan Agung ke Batavia terjadi pada masa jabatan yang kedua ini.
VOC banyak melakukan campur tangan politik pada kerajaan-kerajaan daerah di Nusantara. Selain itu, VOC juga melakukan politik devide et impera (politik adu domba) untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan di Nusantara.
Pada tahun 1641, VOC berhasil mengalahkan Portugis di Malaka. Belanda kemudia menggantikan posisi Portugis di Malaka. Kekuasaan VOC berlanjut, setelah VOC berhasil memaksa Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bongaya pada tahun 1667. Perjanjian tersebut menegaskan kekuasaan VOC di Makassar.
Masa Akhir VOC Pada abad 17 dan 18, VOC berhasil menguasai sebagaian besar wilayah Jawa dan pelabuhan-pelabuhan penting di Indonesia Timur seperti Makassar dan Maluku, hal tersebut menandai kejayaan VOC.
Memasuki tahun 1673, VOC mulai mengalami kemunduran. Beberapa faktornya antara lain :
Melihat kondisi tersebut pemerintah Kerajaan Belanda mengambil alih saham dan daerah kekuasaan VOC. Tindakan tersebut dilakukan guna untuk menutup utang VOC terhadap pemerintah Belanda. Pada akhirnya, VOC resmi dibubarkan oleh pemerintah Belanda pada tanggal 31 Desember 1799. Selanjutnya, Nusantara diperintah langsung oleh pemerintah Belanda.
Masa Pemerintahan Kerajaan Inggris (1811-1816)
Inggris menyerbu Pulau Jawa pada tahun 1811, Belanda menyerahkan Hindia Belanda kepada Inggris melalui Kapitulasi Tuntang. Isi perjanjian tersebut adalah sebagai berikut.
Pada masa ini, Indonesia diperintah oleh Thomas Stamford Raffles, sebagai wakil gubernur jenderal yang berkedudukan di Kakuta, India. Namun, dalam pelaksanaannya Raffles berkuasa penuh di Indonesia sehingga Raffles sering dianggap juga sebagai gubernur jenderal di Indonesia yang pada waktu itu dinamakan British East Hindia (Hindia Timur Inggris).
Pada awalnya, pemerintahan Raffles di Indonesia cenderung mendapat tanggapan positif dari para raja dan rakyat Indonesia karena hal berikut ini.
Berikut ini kebijakan-kebijakan selama pemerintahan Inggris di bawah Raffless.
1. Bidang Pemerintahan Pulau Jawa dibagi menjadi 16 karesidenan. Setiap karesidenan dipimpin oleh seorang residen.Raffles mengubah sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi menjadi sistem pemerintahan kolonial yang bercorak barat. Bupati-bupati atau penguasa-penguasa pribumi dilepaskan kedudukannya sebagai kepala pribumi secara turun-temurun. Mereka dijadikan pegawai pemerintah kolonial Inggris.
2. Bidang Perekonomian Raffles menerapkan sistem sewa tanah yang disebut Landrent. Sistem tersebut memiliki ketentuan, antara lain:
Sistem landrent ini diberlakukan terhadap daerah-daerah di Pulau Jawa, kecuali daerah-daerah sekitar Batavia dan Parahyangan. Hal itu disebabkan daerah-daerah Batavia pada umumnya telah menjadi milik swasta dan daerah-daerah sekitar Parahyangan merupakan daerah wajib tanam kopi yang memberikan keuntungan yang besar kepada pemerintah. Bagi yang tidak memiliki tanah dikenakan pajak kepala.
Petani diberikan kebebasan untuk menanam tanaman ekspor, sedangkan pemerintah hanya berkewajiban membuat pasar untuk merangsang petani menanam tanaman ekspor yang paling menguntungkan.
Selain itu Raffless juga menghapus pajak hasil bumi (contingenten) dan sistem penyerahan wajib (Verplichte Leverantie) karena dianggap terlalu berat dan dapat mengurangi daya beli rakyat.
3. Bidang Hukum Sistem peradilan yang diterapkan Raffles lebih baik daripada yang dilaksanakan oleh Daendels. Penerapan hukum tidak membedakan warna kulit (ras) tetapi lebih berorientasi pada besar-kecilnya kesalahan.
4. Bidang Sosial Perintahan Raffless menghapuskan kerja rodi (kerja paksa) yang dibuat oleh Daendels. Ia juga menghapuskan perbudakan, walupun dalam praktiknya Raffless melanggar kebijakannya tersebut.
5. Bidang Ilmu Pengetahuan Masa pemerintahan Raffles di Indonesia memberikan cukup banyak peninggalan yang berguna bagi ilmu pengetahuan, antara lain penulisan buku berjudul History of Java, aktif dalam mendukung perkumpulan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, ditemukannya Borobudur dan bunga bangkai yang akhirnya diberi nama Rafflesia Arnoldi, serta dirintisnya Kebun Raya Bogor
Berakhirnya pemerintah Inggris di Indonesia ditandai dengan adanya Convention of London (Konvensi London) pada tahun 1814. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh wakil-wakil dari Belanda dan Inggris. Isi dari Konvensi London adaalah pengembalian Indonesia kepada Belanda (kecuali Bengkulu), serta tukar menukar beberapa wilayah jajahan antara Inggris dan Belanda.
Setelah Konvensi London tersebut, Raffles digantikan John Fendall, dalam waktu yang singkat. Namun, Raffles masih menguasai wilayah di Bengkulu, Bangka dan Belitung. Karena pemerintahan Raffles berada di antara dua masa penjajahan Belanda, pemerintahan Inggris itu disebut sebagai masa interregnum (masa sisipan). Akhirnya Inggris benar-benar meninggalkan Indonesia pada tahun 1816.
Kembali ke : Halaman Utama
Bangsa-bangsa Eropa yang datang pertama kali ke Nusantara antara lain Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris. Orang Portugis adalah bangsa Eropa yang paling pertama masuk ke Indonesia setelah mengintari benua Afrika. Kemudian, Spanyol masuk ke Indonesia setelah mengintari Benua Amerika dan mengarungi Samudera Pasifik. Belanda dan Inggris mengikuti jalur yang dilalui oleh Portugis.
Baca juga : Faktor-faktor Penyebab Kedatangan Bangsa Eropa di Indonesia
Bangsa Portugis merupakan bangsa Eropa pertama yang mencapai Kepulauan Nusantara. Pencarian mereka untuk mendominasi sumber perdagangan rempah-rempah yang menguntungkan pada abad ke-16 dan usaha penyebaran Katolik. Bangsa Portugis mesuk ke Indonesia melalui Goa-India dan Malaka.
Tahun 1487, armada Portugis yang dipimpin Bartolomeus Dias mengitari Tanjung Harapan dan memasuki perairan Samudra Hindia. Selanjutnya pada tahun 1498, pelayaran dilanjutkan di bawah pimpinan Vasco da Gama sampai di Calicut dan Goa, India.
Kemudian pada tahun 1511 dari India, Portugis mengirim ekspedisinya di bawah pimpinan Alfonso d’Alburquerque, mengikuti perjalanan para pedagang Islam menuju Nusantara. Pada tahun itu juga Portugis berhasil menduduki Malaka, pusat perdagangan Islam di Asia Tenggara.
Pada awalnya Bangsa Portugis hendak melakukan perjanjian dagang dengan dengan Kerajaan Sunda di Parahyangan pada tahun 1512. Namun, hal itu gagal karena mendapat penyerangan oleh raja-raja Islam di Jawa seperti Demak dan Banten yang menguasai pantai utara Jawa.
Bangsa Portugis mengalihkan arah ke Kepulauan Maluku, yang terdiri atas berbagai kerajaan daerah yang awalnya berperang satu sama lain. Kemudian Portugis tiba di Ternate, Maluku tahun 1512. Awalnya masyarakat Maluku dan Sultan Ternate menyambut baik kepada Portugis agar dapat membeli rempah-rempah dan membantu Ternate menghadapi para musuhnya, terutama Kesultanan Tidore.
Pada saat itu, Kesultanan Ternate di Maluku diperintah oleh Kaicil Darus meminta bantuan Portugis untuk mendirikan sebuah benteng agar terhindar dari serangan daerah lain. Tahun 1522, Portugis mengabulkan permintaan sultan ternate dengan mendirikan benteng Saint John. Benteng tersebut harus dibayar mahal dengan perjanjian monopoli perdagangan rempah-rempah, perjanjian tersebut ternyata menimbulkan kesengsaraan rakyat tidak boleh menjual rempah dengan harga bebas karna harga sudah ditetapkan portugis dengan harga murah. Akibatnya terjadi permusuhan antara Ternate dan Portugis.
Sebab-sebab perlawanan rakyat Ternate terhadap Portugis, antara lain:
Lalu Bangsa Spanyol pun tiba di Maluku, timbullah pertentangan antara bangsa Portugis dan Spanyol, pertikaian tersebut sejalan dengan adanya pertentangan Sultan Ternate dan Sultan Tidore. Untuk menyelesaikan pertikaian antara Portugis dan Spanyol itu, pada tahun 1529 dilakukan perjanjian Saragosa. Isi perjanjian itu antara lain:
Bangsa Spanyol tertarik melihat keberhasilan bangsa Portugis menemukan jalur pelayaran menuju daerah asal rempah-rempah. Semangat untuk menjelajahi samudra, khususnya untuk mencari jalur pelayaran ke Asia terus dilakukan oleh bangsa Spanyol. Penguasa Spanyol, Charles V, memerintahkan Ferdinand Magellan untuk menemukan jalur langsung ke Kepulauan Maluku sebagai pusat penghasil rempah-rempah.
Berbekal pengetahuan yang dipelajarinya dari penjelajahan yang telah dilakukan oleh Columbus dan penjelajah-penjelajah lainnya, Magellan memulai pelayarannya dengan mengambil jalur ke arah barat-daya melintasi Samudra Atlantik, dan sampai ke ujung selatan Benua Amerika dan melalui selat sempit yang sekarang diberi nama Selat Magellan. Dari sana ia menyeberang ke Samudra Pasifik menuju arah Barat dan sampai di Kepulauan Filipina pada tahun 1521.
Di kepulauan tersebut, Magellan terlibat konflik antar kerajaan. Dalam sebuah perang, akhirnya Magellan mati terbunuh. Tewasnya Magellan tidak menjadikan pelayaran berhenti. Akan tetapi, di bawah pimpinan Sebastian del Cano, pelayaran terus dilakukan sampai tiba kembali di Spanyol pada tahun 1522.
Pada tahun 1521, armada dua kapal milik Spanyol berhasil mencapai Maluku yang pada waktu itu sedang dilanda persaingan antara Ternate dan Tidore. Kondisi demikian dimanfaatkan oleh Spanyol dengan memberikan dukungan kepada Tidore dalam menghadapi Ternate yang juga didukung oleh kekuatan Portugis. Rombongan Spanyol diterima baik oleh masyarakat dan dijadikan sekutu oleh Kerajaan Tidore. Hal ini dikarenakan pada saat itu Tidore sedang bermusuhan dengan Kerajaan Ternate yang bersekutu dengan Portugis.
Sebaliknya, kedatangan Spanyol di Maluku bagi Portugis merupakan pelanggaran atas hak monopoli. Oleh karena itu, timbullah persaingan antara Portugis dan Spanyol. Sebelum terjadi perang besar antara kedua bangsa tersebut yang akhirnya diselesaikan dengan Perjanjian Saragosa. Berdasarkan perjanjian tersebut, Spanyol harus keluar dari wilayah Maluku dan kembali ke Filipina. Sedangkan Portugis tetap berkuasa di Maluku dan melakukan aktivitas monopoli perdagangan.
Orang Belanda pertama kali masuk ke Nusantara pada tahun 1596, berpuluh-puluh tahun setelah kedatangan Portugis dan Spanyol. Usaha pencarian rempah oleh Belanda dipengaruhi oleh dominasi Spanyol dan Portugis, dua bangsa penguasa terbesar pada masa itu. Awalnya, Belanda membeli rempah-rempah dari Lisbon, Portugal. Namun, sejak Spanyol menguasai wilayah Belanda, mereka dilarang menerima membeli rempah dari Portugis.
Sebenarnya, baik Spanyol dan Portugis mencoba merahasiakan keberadaan kepulauan Nusantara dari bangsa lain di Eropa. Namun, terdapat awak kapal asal Belanda dalam kapal Portugis yang melakukan penjelajahan. Orang-orang inilah yang membuat catatan terperinci tentang seluk-beluk strategi, kelebihan, dan kekurangan pelayaran yang dilakukan Portugis.
Empat kapal Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman tiba di pelabuhan Banten pada 27 Juni 1596. Praktik kolonialisme Belanda di Nusantara segera dimulai, dan Cornelis de Houtman adalah pembuka jalannya. Dari Banten, rombongan ini melanjutkan pelayaran ke arah timur dengan menyusuri pantai utara Jawa hingga ke Bali.
Cornelis menjadi salah satu orang paling berpengaruh. Namun, Cornelis de Houtman dikenal sebagai kapten kapal yang berperilaku buruk. Semula kedatangannya diterima oleh orang-orang Nusantara dengan tangan terbuka. Namun, ulahnya mengubah relasi itu menjadi perseteruan dan peperangan.
Meskipun begitu, rombongan Cornelis de Houtman berhasil kembali ke Belanda pada 1597 dengan membawa serta banyak peti berisi rempah. Pelayaran pertama Belanda untuk mencari rempah di Nusantara kemudian dianggap sukses.
Keberhasilan rombongan de Houtman kemudian mendorong pelayaran-pelayaran lain dari Belanda menuju wilayah Nusantara. Pada 1598, sebanyak 22 kapal bertolak dari Belanda untuk mengikuti langkah rombongan Cornelis de Houtman. Kapal-kapal tersebut bukan merupakan kapal pemerintah Republik Belanda (Belanda berbentuk republik 1581 – 1806), melainkan milik perusahan-perusahaan swasta Belanda.
Salah satu rombongan di gelombang pelayaran kedua tersebut dipimpin oleh Jacob van Neck. Berbeda dengan de Houtman, van Neck bersikap lebih hati-hati dan tidak mencoba melawan para penguasa lokal Nusantara. Pada Maret 1599, rombongan van Neck berhasil mencapai Maluku yang kala itu menjadi penghasil utama rempah-rempah dalam jumlah besar. Keberhasilan van Neck menjangkau Maluku membuatnya untung besar saat kembali ke Belanda.
Pada tahun 1601, sebanyak 14 buah kapal dari Belanda kembali datang ke Nusantara. Rangkaian pelayaran itu lantas diikuti dengan langkah orang-orang Belanda memonopoli perdagangan rempah di sejumlah daerah Nusantara. Belanda sangat berhati-hati dalam melakukan kerja sama dengan kerajaan-kerajaan daerah di Nusantara. Mereka belajar dari kesalahan Portugis dan Spanyol. Hingga akhirnya Belanda terbilang cukup sukses memonopoli perdagangan rempah-rempah.
Dari ketiga gelombang kedatangan ini memunculkan persaingan dagang antara perusahaan-perusahaan Belanda. Apalagi, orang-orang Belanda secara rutin mengirimkan kapal dagangnya ke wilayah Nusantara. Persaingan ini yang mendorong terbentuknya persatuan dagang Belanda yang disebut Vereenig de Oost Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1602.
Bangsa Eropa yang paling akhir masuk ke Nusantara adalah Inggris. Pada waktu itu Nusantara sudah dimonopoli oleh orang-orang Belanda. Namun, Inggris tidak membeli rempah-rempah dari Belanda karena saat itu Belanda dikuasai oleh Spanyol salah satu saingan Inggris. Inggris mengandalkan pembelian rempah-rempah dari Portugal.
Namun, situasi itu tidak berlangsung lama. Setelah terjadi perang 80 Tahun antara Inggris dan Portugal, Inggris tidak lagi mendapatkan rempah-rempah dari Lisbon, Portugal. Orang-orang Inggris mulai melakukan pelayaran ke timur untuk mencari rempah-rempah. Pelaut Inggris mengikuti jalur Portugis dan tiba di India. Inggris kemudian berupaya memperkuat kedudukannya di India dengan membentuk perusahaan dagang bernama East India Company (EIC) pada tahun 1600.
Pada awalnya Inggris telah memasuki Maluku dan tiba di Banda pada tahun 1601. Namun, di sana terjadi perselisihan dengan Belanda yang telah terlebih dahulu tiba di Maluku.
Untuk memperkuat pengaruhnya, Pemerintah Inggris mengirim utusannya ke Banten untuk mengadakan hubungan dagang. Rombongan Inggris yang sampai ke Banten di tahun 1602 dipimpin oleh Sir James Lancaster. Sultan Banten kemudian memberi izin kepada Inggris untuk mendirikan sebuah kantor dagang di daerah Banten. Selain itu, Inggris juga berhasil mendirikan beberapa kantor dagang di daerah lainnya seperti Ambon, Makasar, Jepara, dan Jayakarta pada tahun 1604.
Selanjutnya baca juga : Sejarah Penjajahan Bangsa-bangsa Eropa di Indonesia
Jangan lupa, kunjungi pula media sosial kami! Youtube : SD Strada Van Lith 1 Facebook : SD Strada Van Lith 1 Instagram : sdstrada_vanlith1
Peradaban India kuno berkembang di dua sungai besar di India yaitu Sungai Indus dan Gangga. Kedua sungai ini membawa endapan lumpur yang membawa kesuburan di lembah sungai sehingga menarik perhatian bangsa disekitarnya. Berikut adalah penjelasan kedua sungai tersebut.
Kedatangan Bangsa Arya
Diperkirakan sekitar 2000 dan 1000 tahun yang lalu, Bangsa Arya datang dari wilayah utara India yang memisahkan diri dari kaum sebangsanya di Iran. Bangsa Arya datang ke India melalui jurang – jurang di pegunungan “Hindu Kush“. Bangsa Arya serumpun dengan bangsa – bangsa yang ada di Eropa seperti bangsa Jerman, Romawi dan Yunani serta bangsa – bangsa lain di Asia. Mereka tergolong dalam ras Indo Jerman. Kedatangan bangsa Arya pertama kali yaitu ke Sungai Shindu yang saat itu masih subur. Disanalah terjadi pertemuan antara Bangsa Arya dan Dravida selaku penghuni lama Sungai Shindu.
Keduanya memiliki perbedaan yang sangat mencolok baik dari warna kulit, fisik, serta kehidupan keseharian. Bangsa Arya memiliki fisik yang sempurna dengan kulit putih, berbadan tegap serta hidung yang melengkung sedikit. Bangsa Arya unggul dalam hal peperangan, hal ini menjadikan Arya mampu menaklukkan Dravida di India. Sedangkan Bangsa Dravida memiliki kulit hitam dengan postur tubuh yang lebih pendek daripada Bangsa Arya. Berkat pertemuan ini terjadi peleburan kebudayaan Dravida dan Arya yang membentuk kebudayaan India yang kita ketahui di masa kini.
Kedatangan bangsa Arya di India sangat dimungkinkan terjadi peperangan. Bangsa Arya adalah bangsa nomaden (pengembara). Mereka hidup dengan beternak sehingga pada perkembangannya mereka sangat menjunjung lembu dan kuda dalam agama Hindu, berbeda dengan Dravida yang mengandalkan hidupnya dengan bercocok tanam di sekitar Sungai Shindu. Bangsa Arya bisa dikatakan lebih primitif daripada Dravida karena bangsa Arya belum mengenal patung – patung dewa sedangkan Dravida sudah mengenalnya.
Baca Juga : Sejarah Peradaban Kuno Mohenjodaro dan Harappa
Usaha Perlawanan Terhadap Penjajahan Bangsa-Bangsa Eropa
Keserakahan bangsa Eropa dalam memperoleh keuntungan, menimbulkan banyak pernderitaan bagi rakyat Indonesia. Pada abad ke-19, masyarakat Indonesia berupaya keras untuk melakukan perlawanan. Tujuan utamanya untuk mengusir penjajahan dari Nusantara. Namun sifat perlawanan lokal dari para raja atau sultan dan rakyat terhadap VOC masih sangat lokal.
Perlawanan yang terjadi paling banyak terhadap VOC dan Belanda, hal ini karena VOC dan Belanda memerintah dalam waktu yang sangat lama. Berbeda dengan Prancis dan Inggris yang hanya memerintah dalam waktu kurang dari 10 tahun.
1. Perlawanan Rakyat Maluku terhadap VOC
Pada tahun 1605, VOC bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan lokal berhasil mengusir Portugis dari Maluku. Awalnya VOC sangat disegani oleh rakyat Maluku. Namun, lama kelamaan VOC tak ada bedanya dengan Portugis, sikap VOC mulai semena-mena dan ikut campur dalam urusan kerajaan-kerajaan. Tindakan yang kejam dan sewenang-wenang dari VOC menyebabkan perlawanan dari rakyat.
Salah satu perlawanan yang terjadi yakni pada tahun 1635-1646, oleh masyarakat Hitu dan dipimpin oleh Kakiali serta Telukabesi. Perlawanan ini kemudian meluas ke Ambon, namun perlawanan mengalami kegagalan.
Pada tahun 1650, perlawanan juga dilakukan oleh rakyat Ternate yang dipimpin oleh Kecili Said. Namun, lagi-lagi serangan tersebut bisa dipatahkan oleh VOC.hal itu dikarenakan VOC memiliki senajat dan pengorganisasian yang lebih baik.
VOC juga berusaha membuat perjanjian dengan Tidore pada tahun 1680. Tidore dianggap menjadi negara bawahan VOC, bukan lagi sekutu. Untuk menguatkan kekuasaanya, VOC mengangkat Putra Alam sebagai penguasa yang baru. Hal tersebut bertentangan dengan tradisi Tidore, dimana seharusnya Pangeran Nuku yang menjadi penguasa. Oleh karena itu Pangeran Nuku melakukan perlawanan bersama dengan rakyat.
Dalam perang tersebut, Pangeran Nuku mendapat dukungan dari Papua di bawah Raja Ampat, Halmahera, Seram Timur, serta Ternate. Oleh para pendukungnya, Pangeran Nuku kemudian diangkat menjadi Sultan Amir Muhammad Syafiudin Syah. Dengan gelar Sultan, maka perang melawan VOC pun semakin diperkuat. Selain mendapat dukungan dari penguasa lokal, Pangeran Nuku juga mendapat dukungan dari Inggris atau EIC. Dengan kekuatan yang besar, VOC berhasil dikalahkan dan Tidore dapat lepas dari penguasannya.
2. Perlawanan Rakyat Minahasa terhadap VOC
Di wilayah Minahasa (sekarang ; Sulawesi Utara) rakyat berperang melawan VOC. Perang tersebut terjadi dalam dua periode. Periode pertama pada tahun 1661-1664, yang terjadi karena VOC meminta Minahasa untuk membuka daerah yang digunakan untuk pembangunan benteng “Fort Amsterdam” dan pemukiman VOC. Rakyat Minahasa menolak permintaan tersebut, sehingga perang tak bisa dihindari. Pada akhirnya Belanda menawarkan perjanjian yang salah satu isinya adalah bahwa Minahasa membantu VOC untuk menyediakan beras dan kayu gelondong untuk membuat bangunan. Hal tersebut tentunya dianggap sebagai pemaksaan, oleh karena itu Minahasa tetap melawan.
Untuk melawan Minahasa maka VOC membendung Sungai Temberan sehingga air sungai meluap dan menenggelamkan pemukiman. Rakyat Minahasa pun memindahkan tempat tinggalnya ke Danau Tonando dengan membangun rumah apung, dan menjadikannya sebagai pusat kekuatan. Namun, rakyat di Tonando ini kemudian menghadai masalah penumpukan panen, karena tidak ada yang membeli. Sehingga mereka mendekati VOC agar mau membeli panen mereka, dan perang Minahasa itu akhirnya berakhir.
3. Perlawanan Kerajaan Gowa (Makassar) terhadap VOC
Usaha VOC di wilayah Gowa (Sulawesi Selatan) dimulai saar VOC yang berhasil mendirikan kantor dagang di Makassar pada 1607. VOC berusaha untuk melakukan monopoli perdagangan dan meminimalisir peran penguasa lokal. VOC mencoba memonopoli perdagangan dengan membatasi perdagangan dengan negara lainnya, seperti Spanyol dan Portugis. Hal tersebut mendapat perlawanan dari Raja Gowa yaitu Sultan Hasanuddin dan menyebabkan perang pada tahun 1666.
Untuk melawan Raja Gowa, Belanda melakukan kerja sama dengan Kerajaan Bone yang ingin melepaskan diri kekuasaan Gowa. Dengan kekuatan Kerajaan Bone yang didukung oleh Kerajaan Wajo dan VOC, Sultan Hasanuddin pun berhasil dikalahkan. Pada 18 November 1667, Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya, yang berisi:
Isi perjanjian tersebut sangat merugikan. Sultan Hasanuddin menolak dan mencoba kembali melawan. Namun perlawanan tersebut masih bisa diatasi VOC, bahkan benteng pertahanan rakyat Gowa berhasil diambil alih oleh VOC dan diubah namanya menjadi Benteng Rotterdam.
4. Perlawanan Kerajaan Mataram terhadap VOC
Sultan Agung merupakan sultan Mataram Islam. Sultan Agung sendiri merupakan raja dengan cita-cita untuk mempersatukan seluruh tanah Jawa dan mengusir kekuasaan asing. Oleh karena itu, Sultan Agung melakukan perlawanan pada VOC yang melakukan ingin memonopoli perdagangan di Jawa. Selain itu, sebab lainnya adalah karena VOC menghalangi kapal dagang Mataram yang akan berlayar ke Malaka, serta VOC juga menolak mengakui kedaulatan Mataram. Oleh sebab itu, Sultan Agung berencana melakukan penyerangan ke Batavia, pusat kekuatan VOC.
Di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa, Mataram menyerang Batavia, pada tahun 1628. Pasukan Mataram juga dibantu oleh pasukan lainnya, seperti pasukan Tumenggung Sura Agul-Agul , serta Laskar Orang Sunda dibawah Dipati Ukur. Namun, Mataram masih kalah dalam persenjataan sehingga masih mengalami kekalahan.
Namun Sultan Agung tidak menyerah, sultan melakukan serang yang kedua dengan meningkatkan jumlah kapal dan senjata, serta membangun lumbung-lumbung beras. Namun hal itu diketahui oleh VOC, dan rencana itupun digagalkannya. Perang tetap berjalan, benteng Hollandia berhasil dihancurkan, serta benteng Bommel berhasil dikepung. Akan tetapi, pada akhirnya dengan kekuatan VOC yang makin ditingkatkan maka Mataram berhasil dikalahkan.
Walaupun gagal dua kali melawan VOC, Sultan Agung tetap berusaha melakukan diplomasi dengan VOC. Hasil dari kesepakatan tersebut,VOC kemudian mengakui kekuasaan Mataram yang dibuktikan dengan pengiriman upeti secara berkala pada Mataram. Sebagai imbalannya, VOC diizinkan melakukan perdagangan di Pantai Utara Jawa.
5. Perlawanan Kesultanan Banten terhadap VOC
Banten merupakan daerah yang strategis dalam perdagangan Internasional. Hal itu membuat VOC ingin menguasai Banten, namun selalu gagal. Oleh karena itu VOC berpindah ke Malaka. Sehingga memunculkan persaingan antara Banten dan Batavia. Dibawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, ia berusaha memulihkan Banten sebagai bandar perdagangan internasional dan menyaingi VOC di Batavia. Beberapa cara yang digunakan Banten diantaranya ialah dengan pedagang Eropa lainnya, serta berhubungan dengan negara-negara Asia lainnya.
Untuk mengalahkan Banten, VOC melakukan pengepungan. Kapal Cina dan kapal dagang dari Maluku dilarang melanjutkan perjalanan ke Banten. Untuk membalas blokade itu, Banten juga mengirimkan pasukan untuk mengganggu serta merusak tanaman tebu VOC. Perlawanan Banten dan VOC ini kemudian diselesaikan dengan perjanjian damai pada tahun 1569.
Pada tahun 1680, Sultan Ageng kembali melakukan perang dengan VOC. Namun, dalam kerajaan Banten sendiri terdapat perselisihan antara Sultan Ageng dan Sultan Haji, yang kemudian dimanfaatkan oleh VOC. Sultan Haji yang didukung Belanda berhasil menggulingkan Sultan Ageng. Sebagai balas budi, Sultan Haji harus menandatangani perjanjian yang berisi:
6. Perlawanan Rakyat Ambon terhadap Belanda
Kebijakan Belanda sangat menyengsarakan rakyat. Salah satunya ialah aturan penyediaan garam dan ikan asin untuk kapal Belanda serta pembayaran hasil cengkih dengan uang kertas, namun penduduk diwajibkan membeli kebutuhan pokok dengan uang logam. Perlawanan di Ambon dan sekitarnya dipimpin Thomas Matulesi atau Kapitan Pattimura pada tahun 1817. Namun pemicu utama perlawan Pattimura ini adalah pemaksaan pemuda Ambon dan Saparua menjadi serdadu oleh Belanda yang dianggap pembuangan oleh rakyat.
Perang ini didukung oleh para pedagang dari Pulau Seram untuk berkomunikasi dengan daerah lain dan mendapatkan persenjataan. Namun Belanda yang dibantu oleh pasukan dari Ternate dan Tidore, berhasil mengalahkan perlawanan Kapitan Pattimura.
7. Perlawanan Diponegoro terhadap Belanda
Diponegoro adalah seorang bangsawan Kesultanan Yogyakarta. Beliau tidak suka Belanda sering ikut campur urusan kerajaan. Belanda juga membawa budaya barat seperti minum minuman keras, sehingga mulai menggeser adat dan budaya lokal. Rakyat juga dijadikan tenaga kerja paksa serta banyak kekejaman lain yang mereka lakukan. Hingga kemudian muncul seorang bangsawan bernama Raden Mas Ontowiryo atau disebut Pangeran Diponegoro. Hingga terjadilah perang yang disebut dengan Perang Diponegoro atau Perang Jawa pada 20 Juli 1825.
Perlawanan ini juga bermula dari sebuah insiden pemasangan patok untuk membuat jalan baru. Namun dengan sengaja, patok itu dipasang ditanah leluhur Pengeran Diponegoro. Sehingga Pangeran Diponegoro memerintahkan untuk mencabuti patok tersebut. Berawal dari insiden tersebut maka timbul perang. Untuk mengatasi perlawanan tersebut, belanda menerapka strategi Bentang Stelsel yang berhasil memecah kekuatan lawan dan para pemimpin lawan berhasil ditangkap. Hingga kemudian Pangeran Diponegoro setuju untuk melakukan perundingan dengan Belanda. namun hal itu hanya sebagai tipu muslihat Belanda untuk menangkap dan mengasingkan Pangeran Diponegoro.
9. Perlawanan Rakyat Bali terhadap Belanda
Perang di Bali ini terjadi dikarenakan perselisihan mengenai hukum tawan karang. Hukum tawan karang mengatur bahwa setuap kapal yang terdampar di pantai Bali akan menjadi milik penguasa daerah tersebut. Belanda yang kapalnya diambil oleh Raja Buleleng melakukan protes namun ditolak oleh Raja Buleleng. Sehingga pada tahun 1826, Belanda menyerang kerajaan Buleleng. Setelah menguasai Buleleng, Belanda meluaskan kekuasaanya dan mencoba merebut semua kerajaan di Bali. Hingga pada 1906 seluruh kerajaan di Bali berhasil jatuh ke tangan Belanda, setelah terjadi perang habis-habisan oleh rakyat yang dipimpin oleh I Gusti Ketut Jelantik. Perang itu disebut dengan Perang Puputan.
9. Perlawanan Rakyat Banjar terhadap Belanda
Perlawanan rakyat Banjar dimulai ketika Belanda mengangkat Tamjidillah menjadi Sultan Banjar menggantikan Sultan Adam yang meninggal dunia. Rakyat Kesultanan Banjar menuntut Belanda agar Pangeran Hidayatullah yang merupakan pewaris sah, diangkat sebagai Sultan Banjar. Tetepi tuntutan tersebut tidak ditanggapi. Pangeran Hidayatullah, bersama Pangeran Antasari, dan Demang Leman memimpin rakyat Banjar melawan Belanda.
Dalam perlawanannya, Pangeran Antasari bersama para pejuang Banjar turut berhasil menenggelamkan kapal Onrust sekaligus para pemimpinnya di Sungai Barito. Pada tahun 1861, Pangeran Hidayatullah ditangkap Belanda dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kepemimpinannya kemudian diambil alih Pangeran Antasari.
Pangeran Antasari meneruskan perjuangan Pangeran Hidayatullah. Di tangannya, kualitas peperangan meningkat karena ada unsur agama. Pangeran Antasari wafat pada 11 Oktober 1862 karena penyakit cacar yang kala itu mewabah di Kalimantan Selatan. Ia wafat ketika mempersiapkan serangan besar-besaran terhadap Belanda.
Walaupun kebanyakan perlawanan yang dilakukan tidak mendapatkan hasil yang memuaskan, namun dapat diketahui bahwa sejak dahulu rakyat Indonesia telah memiliki jiwa nasionalisme yang kuat. Walau masih bersifat kedaerahan, namun telah menjadi langkah utama dalam perlawanan-perlawanan selanjutnya.
Baca juga : Usaha Mempertahankan Kedaulatan Negara Indonesia
Jangan lupa, kunjungi pula media sosial kami! Youtube : SD Strada Van Lith 1 Facebook : SD Strada Van Lith 1 Instagram : sdstrada_vanlith1
Ketika mendengar kata “Viking”, mungkin imajinasi kita langsung tertuju pada sosok bertubuh besar, sebagaimana yajg banyak film kartun gambarkan. Atau justru, sekelompok fans sepakbola asal Bandung yang bernama Bobotoh Persib, dengan latar logo helm viking. Bisa jadi.Mengenal Viking, mungkin kita perlu memberikan gambaran tentang sekelompok penjelajah laut yang sering mengenakan helm bertanduk, dan berlayar di kapal panjang untuk merampok wilayah-wilayah Eropa. Mitos ini, meskipun menarik, hanyalah sebagian kecil dari cerita yang lebih panjang dari rentetan kisah yahg sebenarnya.
Kisah bangsa Viking adalah sebuah sejarah panjahg tentang peradaban, petualangan, penaklukan, kepercayaan mendalam terhadap dunia spiritual, dan juga tentang keruntuhan yang membawa perubahan besar dalam peradaban negara-negara modern di Skandinavia.
Awal Mula Bangsa Viking: Siapa Mereka?
Bangsa Viking berasal dari wilayah yang sekarang kita kenal sebagai Skandinavia, mencakup Norwegia, Swedia, dan Denmark. Mereka mulai muncul sebagai kekuatan pada akhir abad ke-8 Masehi, dan periode ini sering disebut sebagai Zaman Viking. Sebutan “Viking” sendiri bukanlah nama etnis, melainkan istilah yang merujuk pada aktivitas mereka sebagai pelaut dan penyerbu. Mereka disebut sebagai “Vikingr”, yang dalam bahasa Norse Kuno berarti seseorang yang terlibat dalam ekspedisi laut, baik untuk berdagang, menjelajah, maupun merampok.
Beberapa literatur sejarah menunjukan kalau puncak kejayaannya. Bangsa Viking dikenal sebagai penakluk ulung. Mereka bukan hanya merampok, tetapi juga menjelajahi dan menetap di berbagai wilayah. Salah satu serangan paling terkenal adalah pada tahun 793, ketika Viking menyerang biara Lindisfarne di Inggris, menandai dimulainya serangkaian serangan brutal ke seluruh Eropa. Mereka menjelajah hingga ke Mediterania, pesisir Rusia, bahkan Amerika Utara—jauh sebelum Columbus menginjakkan kakinya di Benua Baru.
Namun, di balik reputasi sebagai penakluk, Viking juga dikenal sebagai kelompok pedagang yang cerdas. Mereka membangun jaringan perdagangan luas yang mencakup Timur Tengah, Asia, dan Eropa. Pada periode selanjutnya, bangsa Viking juga dikenal sebagai petani dan pemukim. Mereka mendirikan permukiman di tempat-tempat seperti Islandia, Greenland, dan bahkan sebagian wilayah Inggris serta Prancis. Sebuah bangsa yang hidup dari laut, mereka menggantungkan kehidupan pada kemampuan navigasi dan inovasi kapal yang mereka miliki, seperti kapal panjang yang bisa menempuh perjalanan jauh di lautan dan melintasi sungai-sungai dangkal.
Kepercayaan dan Dunia Spiritual Viking
Bagi bangsa Viking, dunia bukan hanya terdiri hanya dari kehidupan fisik, tetapi juga spiritual. Mereka percaya pada panteon dewa-dewi yang dipimpin oleh Odin, dewa perang dan kebijaksanaan. Dewa-dewa lain seperti Thor, dengan palu Mjölnir-nya, dan Freyja, dewi cinta dan kesuburan, juga sangat dihormati. Kepercayaan Viking terhadap kehidupan setelah mati adalah beberapa aspek menarik yang kerap diromantisasi dalam berbagai kisah modern.
Valhalla, aula para pejuang, adalah salah satu inti dari kepercayaan mereka tentang akhirat. Hanya mereka yang mati dengan gagah berani di medan perang yang dipercaya akan dibawa oleh valkyrie, pelayan Odin, ke Valhalla. Di sana, mereka akan hidup abadi, berlatih perang setiap hari, dan makan serta minum di malam hari, mempersiapkan diri untuk Ragnarok, pertempuran akhir zaman.Bagi seorang Viking, mati dalam peperangan adalah kehormatan tertinggi. Kepercayaan ini menjelaskan mengapa mereka seringkali bertempur dengan penuh keberanian dan terkadang justru tampak nekat—mereka tidak takut mati, melainkan menantikan perjalanan ke Valhalla.
Keruntuhan Bangsa VikingsNamun, seperti semua peradaban besar, kejayaan Viking tidak berlangsung selamanya. Pada abad ke-11, kekuatan bangsa Viking mulai memudar. Sejumlah faktor berperan dalam keruntuhan ini. Salah satunya adalah munculnya kekuatan-kekuatan lokal di wilayah yang mereka taklukkan. Bangsa-bangsa Eropa yang sebelumnya terpecah mulai bersatu dan membangun pertahanan yang lebih baik untuk melawan serangan Viking.
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Masa Hindia Belanda di Bawah Pemerintahan Belanda-Prancis (1800-1811)
Setelah VOC dibubarkan pada 1799, tanggung jawabnya diambil alih oleh Hindia Belanda (Nederlands Indies), yaitu wilayah pemerintahan jajahan di bawah Kerajaaan Belanda. Pengambilan kekuasaan ini bertujuan agar wilayah Indonesia masih dalam kekuasaan Belanda. Pemerintahan Belanda hanya bertahan sampai 1806, saat itu Belanda yang menggantikan VOC harus menanggung hutang-hutang VOC.
Nusantara pada saat ini dikenal dengan nama Hindia Belanda (Nederlandsch–Indische), karena wilayah Indonesia pada masa tersebut langsung diperintah oleh Belanda. Pada masa ini masih berdiri kerajaan-kerajaan daerah yang memiliki kedaulatannya masing-masing, walaupun beberapa kerajaan daerah sudah dikontrol atau dikuasai oleh Belanda.
Pada tahun 1792–1802 terjadi perang Revolusi Prancis di Eropa. Belanda turut mengalami peperangan melawan Prancis. Akhirnya pada tahun 1806, Prancis menguasai pemerintahan Belanda yang ada di Eropa. Pemerintahan Hindia Belanda diambil alih oleh Perancis pada tahun 1808. Dengan demikian, secara tidak langsung Indonesia pernah dikuasai oleh Prancis.
Herman Willem Daendels diutus oleh Lodewijk (Louis) Napoleon untuk menjadi Gubernur yang menjabat di Batavia dengan tugas utama yaitu mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris. Tuntutan pemerintahan Belanda kepada Daendels hanyalah pada sektor pertahanan dan ketentaraan.
Untuk menambah kekuatan militernya, Daendels melatih orang-orang pribumi Nusantara menjadi tentaranya, sebab tidak mungkin Daendels merekrut orang – orang dari negara Belanda yang kemudian didatangkan ke Hindia Belanda.Daendels membuat sistem kerja paksa atau kerja rodi.
Kegiatan memperkuat militer Prancis juga sejalan dengan pembangunan pos jaga atau benteng-benteng, pabrik mesiu dan juga rumah sakit tentara. Selain itu, guna mempertahankan pemerintahan di pulau Jawa, Daendels mendirikan jalan Grote Postweg (Jalan Raya Pos) atau sekarang dikenal dengan Pantura dari Anyer, Jawa Barat hingga Panarukan, Jawa Timur.
Pembangunan jalan Jalan Raya Pos menggunakan sistem kerja paksa atau kerja rodi yang dilakukan rakyat pribumi secara paksa dan tanpa upah. Keberhasilan pembangunan jalan pos ini merupakan pencapaian yang gemilang oleh pemerintahan Daendels, namun disisi lain bagi orang-orang Indonesia setiap jengkal jalan pantura merupakan rintihan jiwa orang yang mati dari pribumi yang dipekerjakan secara paksa.
Setelah pembuatan Jalan Raya Pos selesai, Daendels memerintahkan untuk membuat perahu – perahu kecil dan kemudian membuat pelabuhan – pelabuhan untuk tempat bersandarnya kapal perang, rencana pembuatan pelabuhan ini akan dibangun di daerah Banten Selatan. Pembangunan pelabuhan juga memakan korban jiwa yang tidak sedikit bagi warga Banten yang diakibatkan dari penyakit malaria yang menyerang para pekerja paksa.
Akhirnya pembangunan pelabuhan tidak terselesaikan. Meskipun demikian, Daendels bersikeras untuk tetap menyelesaikan pembangunan pelabuhan dan di sisi lain Sultan Banten menentangnya. Daendels menganggap jiwa para pekerja paksa orang-orang Banten tidak ada harganya, sehingga mangakibatkan pecahnya perang antara pemerintahan Daendels melawan Kerajaan Banten.
Pada 1810, Kerajaan Belanda di bawah pemerintahan Louis Napoleon dihapuskan oleh Napoleon menjadi kekuasaan Perancis. Otomatis Indonesia berganti dari pemerintahan Belanda beralih ke pemerintahan Prancis. Akibat tindakannya yang otoriter, pada 1811 Daendels di panggil kembali oleh Napoleon untuk kembali ke Eropa dan digantikan Gubernur Jansens.
Berikut ini adalah kebijakan – kebijakan yang dilakukan Daendels selama Dendels menjabat di Indonesia terutama di pulau Jawa.
1. Bidang Pertahanan dan Keamanan Daendels membangun benteng pertahanan, membangun Grote Postweg dari Anyer hingga Panarukan dan pangkalan angkatan laut di Anyer dan Ujung Kulon. Ia juga mengangkat pribumi sebagai tentara Daendels.
2. Bidang Pemerintahan Daendels membatasi kekuasaan raja-raja di Jawa. Ia membagi Jawa menjadi 9 daerah prefektur yang masing-masing prefektur dipimpin oleh seorang gubernur. Bupati sebagai penguasa diubah menjadi pegawai pemerintahan yang kemudian digaji. Wilayah Kerajaan Banten dan Cirebon dihapuskan dan dinyatakan sebagai wilayah pemerintahan kolonial.
3. Bidang Sosial dan Ekonomi Daendels memaksakan perjanjian kepada penguasa Surakarta dan Yogyakarta untuk melebur ke dalam pemerintahan kolonial, meningkatan pemasukan dari pajak, meningkatkan kegiatan penanaman paksa dan penyerahan wajib hasil bumi, serta melakukan penjualan tanah kepada pihak swasta
Daendels juga memberantas sistem tuan tanah (feodal) yang sebelumnya digunakan oleh VOC. Selain itu Daendels juga membatasi hak-hak bupati terutama dalam hal penguasaan tanag serta pemakaian tenaga rakyat. Pemerintahan Daendels dianggap sebagai pemerintahan bertangan besi atau otoriter. Ia menerapkan disiplin, kerja keras dan kejam. Bagi yang membangkang, Daendels tidak segan untuk memberi hukuman. Hal ini dapat dilihat ketika pembangunan jalan pantura yaitu dengan menerpakan kerja paksa tanpa upah atau makanan sehingga sebagian melarikan diri akan ditangkap dan sisiksa.
Selanjutnya Daendels digantikan oleh Jan Willem Jansenn. Pemerintahan Jansen tidak berlangsung lama yaitu hanya dari 15 Mei 1811 sampai 18 September 1811 yang kemudian menyerah kepada Raffles (Inggris) yang tertuang dalam Kapitulasi Tuntang. Isi Kapitulasi Tuntang di antaranya :